Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Selasa, 29 November 2011

Cerpen... cerpen...

Kertas Pembawa Masalah

          “Selamat, ya!” ucap beberapa temanku. Hari ini aku memang mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman-temanku. Ucapan itu aku dapat seiring dengan keberhasilanku menjadi wakil ketua kelas di kelas baruku. Walaupun hanya menjadi wakil ketua kelas aku tetap bangga bisa kembali mendapatkan kepercayaan dari teman-teman.
          Diandra Lovita, itulah namaku. Aku biasa dipanggil dengan nama Diandra. Sudah tiga hari aku berada di kelas baruku. Ya, kini aku telah menjadi siswi kelas IX, tepatnya IX-C. Dengan status sebagai kelas unggulan, otomatis siswa-siswi yang berada di kelas ini merupakan mereka yang memiliki kemampuan lebih dari siswa-siswi kelas lainnya. Meskipun masih baru, tetapi aku sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku. Maklum saja, hampir seluruh siswa-siswi yang kini berada di kelas IX-C merupakan teman-temanku saat berada di kelas VIII-C dulu.
          “Makasih ya, semua! Aku bakal ngelakuin yang terbaik buat kelas ini,” ucapku pada teman-temanku yang telah memberikan ucapan selamat kepadaku.
          “Kita semua percaya, kok! Santai aja, kali!” ujar Risha, orang yang saat ini menjadi teman sebangkuku.
          Sejak terpilih menjadi wakil ketua kelas,  aku banyak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut kelas IX-C. Teman-temanku juga sudah memberi kepercayaan penuh kepadaku. Setiap kegiatan yang akan dilakukan selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Inilah salah satu hal yang aku suka dari teman-teman sekelasku. Segala sesuatu yang akan dilakukan selalu didahului oleh musyawarah kelas agar semuanya berjalan lancar dan tidak terjadi kesalahpahaman.
          Suatu hari …
          “Gimana kalo yang buat itu seksi kebersihan?” usul Ara, bendahara kelas.
          “Bisa. Ada usul lain?” tanya Dio, ketua kelas.
          Hari ini sedang diadakan rapat yang melibatkanku mengenai kelengkapan kelas seperti daftar piket, daftar pelajaran, dan struktur kelas yang meskipun sudah terbentuk sejak dua minggu yang lalu belum juga dibuat. Parah, kan? Padahal sudah ditagih dari satu minggu yang lalu sama wali kelas. Maklumlah, namanya juga kelas unggulan pasti siswa-siswinya pada sibuk. Gak tahu juga deh apa sibuk beneran atau sok sibuk. Oke, kembali ke rapat kelas yang belum juga menemukan keputusan.
          “Mendingan sekretaris aja. Itu kan memang tugas dari sekretaris,” usulku.         
          “Bener juga sih. Sekretaris bisa, gak?” tanya Dio pada Rifa dan Anggun, sekretaris kelas.
          “Kalo aku sempet, bakal aku kerjain deh. Tapi kalo aku gak sempet, ke Anggun aja!”  jawab Rifa dengan entengnya.
          “Ya udah, gak masalah,” ucap Dio.
          Meskipun ucapannya halus, tetapi aku tahu kalau Dio sedang menahan amarah. Terlihat sekali dari matanya.
           Sekadar informasi saja, setiap tahunnya jumlah anak laki-laki di kelasku selalu berkurang dan saat ini jumlah mereka hanya lima orang. Punah, punah deh mereka.     
          “Terus gimana?” tanya Anggun.
          “Kalo cuma buat daftar piket, aku bisa,” ujar Zahra.
          “Bagus, deh kalo gitu,” ucapku lega.
          “Oke, untuk daftar piket Zahra yang buat. Yang lain gimana?” tanya Dio.
          “Gini aja, buat perlengkapan yang lain kita pake struktur kelas yang lama aja. Jadi, kita cuma tinggal ubah namanya aja. Tapi siapa yang mau nge-print?” tanyaku.
          “Sekretaris yang nge-print nama-namanya. Kalo udah tinggal temple aja. Oke?” ucap Dio.
          “Setuju!” Ucapku dan teman-teman secara bersamaan yang sekaligus mengakhiri rapat kali ini.          
          Aku kembali ke tempat dudukku. Setelah bel istirahat berbunyi, pelajaran kembali dimulai.
          Tak terasa bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Seperti biasa waktu yang ditunggu-tunggu siswa telah tiba. Pulang! Dan seperti biasa aku pulang bersama beberapa temanku yang jalan rumahnya searah dengan rumahku. Sampai di rumah, aku langsung mengganti pakaianku dan seperti biasanya aku langsung menghidupkan laptop yang sudah tersambung dengan internet.  Website yang aku buka pertama kali tentu saja Google, browser yang menyediakan semua informasi yang kita ingin ketahui. Facebook? Ya, aku juga membuka facebook hanya sekadar untuk membaca status teman-teman facebook-ku yang hampir semuanya berisi tentang masalah pribadi. Lagi pacaran, diputusin, ngumpul bareng teman, pokoknya masih banyak lagi, deh.
          Yah, itulah aktivitas yang aku jalani tiap harinya. Pagi berangkat sekolah, pulang langsung merapat ke laptop, sore hari aku biasanya menyapu rumah atau pergi les, sedangkan malam hari setelah belajar aku langsung duduk manis di depan TV.
          Suatu ketika di sekolah …
          “Konsepnya gini. Gimana?” tanya Ara padaku sambil memberikan selembar kertas berisi desain untuk mading kelas.
          “Bagus, kok! Tapi kalo menurutku bagusnya gambar yang di sebelah sini disamain sama gambar yang sebelah kiri. Biar cocok gitu. Coba kamu tanyakan lagi ke ketua kelas!” perintahku pada Ara.
          “Ah, percuma! Pasti dia bilang terserah kamu, aja! Males deh jadinya. Oh, iya makasih atas sarannya!” ujar Ara.
          “It’s okay,” jawabku.
          Begitulah. Teman-temanku selalu meminta pendapatku untuk urusan yang menyangkut kelas. Tidak hanya dimintai pendapat tentang itu saja, aku juga sering dimintai pendapat tentang masalah pribadi mereka. Ya, aku memang sering menjadi tempat curhat bagi teman-temanku. Dan orang yang paling sering menjadikan aku sebagai tempat mencurahkan perasaan mereka adalah Risha dan Nura. Dan mungkin sudah menjadi bakat alamiku untuk menjadi seorang pendengar yang baik. Aku memang senang mendengarkan cerita orang lain. Jadi, semua yang mereka ceritakan selalu aku dengarkan dengan seksama.  Mereka percaya bahwa aku adalah orang yang dapat dipercaya. Dan itu memang benar, aku termasuk orang yang bisa menjaga rahasia orang lain.
          Hari-hariku berjalan dengan baik. Aku merasa hidupku selalu disertai dengan ketenangan. Suatu ketika ...
          “Diandara, gimana tugasnya? Kan, besok lusa udah harus dikumpulin.” tanya Eva padaku.
          “Sebenernya tugasnya suruh ngapain, sih?” tanyaku balik.
          “Makanya kalo guru belum keluar jangan keluar dulu. Mentang-mentang jaga koperasi sekolah. Jadi seenaknya aja langsung pergi. Jadi gak tahu kan kalo ada tugas,” ejek salah satu temanku sambil melewatiku dengan tatapan sinis.
          “Sabar, sabar!” ucapku sambil mengelus dadaku.
          “Oke, sekarang jelasin dengan detail gimana tugas yang dikasih sama guru waktu itu!” suruhku pada Eva.
          “Waktu itu Ibu nyuruh kita mengerjakan soal-soal yang ada di buku, terus di bagian atas soal-soal itu ada semacam tugas lagi. Ditugas itu kita disuruh milih salah satu provinsi, terus disuruh cari data-data tentang provinsi yang kita pilih itu. Nah, di situ ada alamat web yang bisa membantu kita buat mengerjakan tugas itu. Tiap anak tidak boleh memilih provinsi yang sama, harus beda-beda. Sebenarnya aku sudah mau mengerjakan tugas itu, tetapi aku takut provinsi yang aku pili sama dengan anak lain.” jelas Eva panjang lebar yang kecepatan berbicaranya mengalahkan kecepatan mobil balap yang sedang mengikuti lomba Formula 1 (F1).
          Dan setelah itu, apa kalian tahu ekspresi yang aku tunjukkan padanya? Muka bingung dengan mulut menganga yang sebaiknya tidak usah kalian bayangkan karena itu sangat memalukan bagiku 
          “Astagfirullah! Intinya kita disuruh memilih provinsi dan tidak boleh sama,” terang Eva yang sepertinya  sudah mengetahui arti dari ekspresi yang aku tunjukkan.
          “Oke, oke!” ucapku dengan wajah yang meyakinkan meskipun masih dalam keadaan bingung, tapi setidaknya Eva tidak perlu mengulangi penjelasannya yang meskipun diulang 10 kali belum bisa membuatku mengerti karena seperti yang aku jelaskan tadi kecepatan berbicaranya mengalahkan kecepatan mobil balap yang sedang mengikuti lomba Formula 1 (F1).
          Setelah itu, Eva pergi bersama beberapa temannya sedangkan aku masih berusaha untuk mencerna kata-kata yang berhasil aku dapat dapat dari penjelasan Eva tadi dengan perjuangan yang cukup berat. Setelah berhasil mencernanya, aku langsung mengambil keputusan. Aku mengambil kertas kosong yang ada di bawah bangku Risha dan langsung menuliskan tulisan besar sebesar badan gajah supaya bisa terbaca dan terlihat oleh teman-teman yang berbunyi “PILIH PROVINSI TERSERAH KALIAN, TAPI GAK BOLEH SAMA. TULIS SESUAI NOMOR ABSEN. TUGAS PKN”. Setelah tiu aku langsung menulis provinsi yang aku pilih dan menyuruh teman-temanku yang lain untuk menulisnya juga. Keputusan ini cukup efektif mengingat tugas ini harus dikumpulkan besok lusa. Semuanya berjalan dengan lancar, meskipun ada beberapa anak yang masih bingung saat mendapatkan kertas itu. Untungnya setelah dijelaskan mereka akhirnya bisa mengerti.
          Saat itu aku sempat berfikir apa gunanya aku menulis tulisan besar sebesar badan gajah di bagian atas kertas jika aku masih harus menjelaskan maksud dari kertas itu kepada teman-temanku. Apa mata teman-temanku yang sudah mulai rabun atau otak mereka yang sudah terlalu penuh dengan tugas-tugas yang lain sampai-sampai tulisan sebesar itu tidak bisa dimengerti. Tahu begitu, aku akan menjelaskan terlebih dahulu maksud dari kertas itu di depan kelas. Tapi tak apalah, toh semuanya berjalan lancar. Tidak ada protes yang berarti.
          Hari ini semua berjalan lancar. Masalah tugas PKn sudah bisa diselesaikan. Dan aku pulang ke rumah dengan perasaan lega dan tenang. Malam harinya entah kenapa aku sedang tidak ingin menonton TV. Padahal acara kesukaanku akan tayang malam ini. Malam itupun aku habiskan dengan tidur-tiduran di tempat tidur yang akhirnya membuatku tidur dengan nyenyak.
          Kesesokan harinya …
          “Diandra, kemarin aku nulis provinsi apa ya?” tanya salah satu temanku.
          “Em, bentar dulu! Eh, kertas kemarin dipegang siapa?” tanyaku pada seisi kelas dengan suara lantang saat pergantian jam pelajaran.
          “Di golongan bangku sebelah kiri,” jawab Nura.
          “Makasih,” ucapku pada Nura.
          “Eh, buat golongan bangku sebelah kiri, kalau kertas yang kemarin udah diisi kasih ke aku ya!” ujarku lagi dengan suara sama lantangnya dengan yang tadi.
          Saat itu aku masih tenang-tenang saja, mendengarkan curhat dari Risha. Tak beberapa lama, Nura memberikan sebuah kertas yang tadi aku pinta dengan wajah sedikit was-was. Sejenak aku merasa bingung, tapi akhirnya kertas itu aku terima juga. Sekilas hampir seluruh nomor sudah terisi, meskipun ada beberapa nomor yang memilih provinsi yang sama yang terpaksa harus aku coret salah satu untuk diganti dengan provinsi lain. Namun, saat hendak aku berikan pada temanku tak sengaja aku membalik kertas itu dan di situ tertulis beragam caci-maki dengan tulisan yang semuanya menggunakan huruf kapital yang cukup menyiksaku batinku. “GAK ADIL! MENTANG-MENTANG DUDUKNYA DI GOLONGAN BANGKU SELATAN TERUS YANG DIDAHULUIN GOLONGAN SANA. GOLONGAN SINI GAK DIANGGAP”, “CURANG! KITA INI GAK TAHU APA-APA. LANGSUNG DIKASIH KERTAS INI TANPA PENJELASAN. ENAK YANG GOLONGAN BANGKU SELATAN, UDAH DIJELASIN DULUAN”, “JANGAN MENTANG-MENTANG KAMU JADI WAKIL KETUA TERUS KAMU BISA BERTINDAK SEPUASMU!”, dan masih banyak yang lain. Membaca satu kalimat saja sudah membuat diriku seakan jatuh ke jurang tanpa dasar. Rasa sedih bercampur amarah yang membuat emosiku meledak-ledak. Tanpa berfikir panjang aku langsung membalas tulisan mereka dengan tulisan kapital yang tidak kalah besar. “TERSERAH KALIAN MAU MILIH PROVINSI YANG SAMA ATAU BEDA. AKU GAK PEDULI. ASAL KALIAN TAHU, AKU INI GAK TAHU APA-APA SOAL TUGAS INI. TIBA-TIBA AJA ADA YANGTANYA TUGAS INI SAMA AKU. AKU GAK PERNAH MEMIHAK SAMA BANGKU INI ATAU BANGKU YANG LAIN. DAN KALAU MEMANG KALIAN BOSAN SAMA KERJAKU, AKU BAKALAN MUNDUR JADI WAKIL KETUA KELAS”. Sedikit kasar memang, tetapi itulah kalimat pertama yang muncul di otakku.
          Aku menyuruh Nura untuk memberikan kertas itu pada teman-teman yang duduk di bangku bagian utara. Pastinya Nura membaca kertas itu.
          “Bangus, Dra! Mereka itu apa-apaan, sih? Nulis sembarangan,” ujar Nura.
          “Makasih,” ucapku.
          “Iya, mereka itu apa-apaan sih? Lagian kertasnya juga sudah diisi. Berarti gak ada masalah, kan? Kayaknya mereka emang lagi mau nyari masalah. Tenang aja, Dra! Kamu benar, kok!” ujar Risha.
          “Iya. Maksih ya, Ris!” ucapku.
          Tak beberapa lama Dio dan Sinta berjalan ke depan kelas. Mungkin Dio dan Sinta telah membaca tulisan yang ada di kertas itu.
          “Oke semua! Mungkin ada sedikit kesalahpahaman mengenai tugas PKn. Diandra langsung saja memberikan kertas itu tanpa ada pemberitahuan sebelumnya sehingga membuat kalian semua sedikit bingung,” ujar Dio.
          “Iya. Menurutku Diandra terlalu cepat mengambil keputusan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Diandra juga belum merembukkan masalah ini dengan ketua kelas. Jadi, sedikit terjadi kesalahpahaman di sini,” ujar Sinta.
          “Apa-apaan sih, mereka? Bukannya sebagian besar sudah diisi?” ujar Risha.
          Mendengar kata-kata Dio dan Sinta, dengan emosi yang meluap-luap, aku langsung berjalan maju mendekati Dio dan Sinta dan membela diri.
          “Eh, aku ini gak tahu apa-apa. Kemarin Eva mendadak tanya ke aku tentang tugas PKn. Aku yang gak tahu apa-apa otomatis gak ngerti sama apa yang Eva jelasin.  Tugas PKn-nya dikumpulin besok. Kalau bukan kemarin aku yang buat keputusan, terus kapan? Lagian salah kalian sendiri, ada tugas gak didengerin. Kalau udah gitu aku deh yang disuruh nyelesain. Dan satu lagi, kenapa harus aku yang diberitahu duluan? Kenapa bukan ketua kelas? Oh, mungkin mereka lebih percaya sama wakil ketua kelas karena ketua kelasnya gak bisa ngurusin kelasnya sendiri,” ujarku.
          Entah mengapa kalimat-kalimat itu keluar dengan lancar dari mulutku sendiri seolah-olah kalimat-kalimat itu telah aku siapkan untuk aku ucapkan di depan kelas. Untung saja guru yang mengajar saat itu sedang tidak masuk karena sibuk dengan tugas-tugas beliau yang membuat teman-temanku dapat dengan leluasa mengeluarkan pendapatnya untuk kami.
          “Makanya jadi ketua kelas itu yang bener. Jangan wakil terus yang diandalin!” ujar salah satu temanku.
          Sejenak aku merasa lega karena ada yang berani membelaku seperti itu. Tetapi ternyata kelegaanku itu tidak berlangsung lama.
          “Salah Diandra sendiri dong. Dia seenaknya saja ngambil keputusan tanpa ada pemberitahuan. Tengkar deh, jadinya. Dasar wakil ketua gak becus,” ujar temanku yang lain.
          Mungkin aku masih bisa menerima kalimat pertama dan kalimat kedua. Tetapi kalimat terakhir yang dia ucapkan membuat perasaanku sakit sekali.
          “Kalau kalian ingin aku berhenti jadi wakil ketua, aku bakalan berhenti sekarang!” ucapku dengan tegas sambil memukul meja yang berada di depanku.
          Tanpa aku sadari perlahan air mataku menetes tanpa bisa aku cegah lagi. Aku langsung kembali ke tempat dudukku dengan wajah berlinang air mata. Teman-teman yang berada di dekatku berusaha untuk menghiburku. Sementara itu, Dio dan Sinta berusaha menyelesaikan masalah tugas PKn. Mereka mengusulkan untuk mendata ulang mengenai provinsi yang dipilih oleh teman-teman. Namun, ada beberapa orang yang protes karena mereka telah mengerjakan tugas sesuai provinsi yang mereka tulis di kertas sebelumnya. Setelah mempertimbangkan protes dari beberapa teman, akhirnya Dio dan Sinta mendata kembali provinsi yang dipilih oleh teman-teman yang lain dengan menuliskannya di papan tulis dan mengurutkannya dari nomor absen 1 sampai 32. Setelah didata, ternyata ada beberapa yang belum memilih nama provinsi. Akhirnya mereka berinisiatif untuk mengundi nama-nama provinsi yang belum terpilih untuk anak-anak yang belum memilih nama provinsi. Katanya sih supaya adil.
          Aku masih tetap menangis di tempat dudukku. Hanya dengan berbekal selembar tisu, perlahan aku mengusap air mataku yang belum berhenti juga. Sampai akhirnya …
          “Nura, temenin aku ke kamar mandi ya!” pintaku pada Nura.
          “Iya, ayo!” jawab Nura.
          Aku dan Nura pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajahku yang terlihat jelek saat aku menangis sementara teman-teman yang lain sibuk dengan tugas PKn.
          “Udah, Diandra! Yang tadi gak usah dipikirin. Mereka aja yang gak tahu gimana susahnya jadi wakil ketua kelas,” hibur Nura.
          “Iya, makasih! Balik, yuk!” ajakku pada Nura.
          Setiba di kelas suasana tenang langsung menyambutku. Sepertinya masalah yang tadi sudah bisa terselesaikan dengan baik. Saat itulah akal sehatku kembali dan aku bisa berpikir jernih. Saat itulah aku menyadari semua yang sudah aku lakukan. Berkata kasar dengan emosi yang tak dapat aku kendalikan, meremehkan ketua kelas, tidak memikirkan orang lain. Argh, ada apa dengan aku? Mengapa aku begini? Sejenak terlintas akibat dari perbuatan yang sudah aku lakukan. Akankah aku kehilangan kepercayaan dari teman-temanku? Atau bahkan aku akan kehilangan teman-temanku? Oh, Tuhan! Apa yang telah aku lakukan?
          Suasana menjadi hening. Tak ada seorangpun yang berani mengucapkan sepatah kata saja. Aku masih terdiam memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi akibat perbuatanku tadi.
          “Temen-temen semua!”
          Terdengar suara pelan dan lembut dari depan kelas. Aku cepat-cepat mengangkat kembali wajahku dan melihat siapa yang sedang berbicara di depan kelas. Dio dan Sinta. Entah apa yang akan mereka lakukan. Sejenak terlintas pikiran bahwa mereka akan menyuruhku untuk berhenti menjadi wakil ketua kelas sesuai dengan keinginanku tadi. Tetapi …
          “Begini, kami semua mau minta maaf sama Diandra. Mungkin kami terlalu egois dan terlalu mementingkan diri-sendiri. Kami tahu kamu bermaksud baik untuk segera menyelesaikan masalah tugas PKn yang memang harus dikumpulkan besok, tapi menurut kami seharusnya kamu beri pengumuman terlebih dahulu,” ujar Sinta.
          “Aku juga mau minta maaf. Ini juga salahku yang terlalu cepat mengambil keputusan untuk segera menyelesaikan masalah tugas PKn biar aku gak didesak terus sama yang lain. Apalagi tanpa ada pemberitahuan sebelumnya soalnya aku kira kalian udah pada tahu,” ujarku dengan penuh penyesalan.
          “Ya, mungkin ini salahku juga. Aku gak becus ngurusin kelas. Buktinya setiap ada apa-apa selalu kamu yang diberitahu duluan. Sekarang aku janji, sebagai ketua kelas aku bakalan lebih bertanggung jawab lagi terhadap kelas ini,” ujar Dio dengan rasa bersalah.
          “Ya, sudah masalah kali ini kita anggap udah selesai. Intinya satu, kita harus lebih banyak intropeksi diri aja dan gak boleh nyalahin orang lain atas apa yang udah terjadi,” ujar Sinta.
          “Setuju!” seru semuanya dengan diiringi tepuk tangan yang cukup meriah.

          Semua itu terjadi begitu saja, tanpa bisa aku cegah. Aku tidak menyangka, hanya karena kecerobohanku, masalah kecil ini menjadi masalah besar yang hampir menghancurkan hubunganku dengan teman-temanku. Karena masalah ini, aku harus menunjukkan emosi berlebihanku yang seharusnya dapat aku kendalikan. Dan karena masalah ini pula, aku harus membasahi pipiku dengan air mata yang hapir selama setahun ini tidak pernah aku jatuhkan.
          Mungkin kalian berpikir begitu berat masalah yang aku hadapi sampai-sampai air mataku terjatuh. Tapi jika kalian tahu masalah yang sebenarnya aku hadapi, kalian mungkin akan berkata, “ngapain nangis gara-gara masalah begituan?” Tapi jika kalian tahu apa yang ada di pikiran dan bagaimana perasaanku saat itu, mungkin kalian akan ikut menangis bersamaku.
          Menjadi orang yang dipercaya memang menyenangkan. Saat itu, kalian akan merasa bahwa semua orang membutuhkan kalian dan akan melibatkan kalian dalam segala kegiatan mereka. Tapi bayangan kalian yang seperti itu hanyalah khayalan sesaat. Tanggung jawab yang besar akan kalian pikul dan menjadi beban berat bagi kalian setiap harinya. Kalian harus selalu ada saat mereka membutuhkan kalian, kalian akan selalu dimintai pendapat, dan kalian tidak bisa lari dari semua itu.
          Tanpa kalian sadari, setiap perbuatan yang kalian lakukan akan selalu mereka nilai. Mungkin perbuatan yang menurut kalian baik, akan bernilai minus di mata mereka. Kadang kala kalian mendapatkan beratus-ratus pujian atas apa yang telah kalian lakukan. Tetapi, kadang kala kalian akan mendapatkan berribu-ribu cemoohan yang tak pernah kalian duga sebelumnya. Mungkin fisik kalian akan sanggup menerima semua itu, tetapi kadang kala perasaan kalian akan rapuh dan tak sanggup lagi menahannya. Saat itulah kalian akan merasakan bagaimana rasanya dilempar ke jurang tak berdasar.
          Tapi hari ini aku belajar banyak hal positif yang menuntutku untuk lebih banyak berintropeksi diri. Sekarang aku sadar bahwa menangis memang dapat membuat perasaan kita lega. Dengan menangis, semua beban kita seakan-akan ikut larut bersama linangan air mata kita. Tetapi meski kita menangis sampai air mata kita kering, masalah yang kita hadapi akan tetap ada dan akan terus menghantui diri kita. Karenanya terimalah kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa kita memang salah dan harus meminta maaf, meskipun kita berat menerimanya. Karena hanya dengan dua kata itu, beban kita akan berkurang dan membuet diri kita lebih tenang.
          Kita juga diberi akal dan pikiran untuk selalu kita gunakan. Namun, kadang kala kita bertindak gegabah dalam mengambil keputusan tanpa berfikir akibat yang akan timbul. Mungkin menurut kalian tindakan cepat akan cepat pula menyelesaikan masalah. Tapi nyatanya tidak. Hal itu malah bisa memperburuk keadaan. Percayalah! Ada baiknya kita berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak dan mendiskusikannya dengan orang yang lebih bertanggung jawab agar tidak terjadi keributan dan kesalahpahaman.

0 komentar:

Posting Komentar